ABSTRAK

Penyandang tuna daksa memiliki aspek psikologis yang cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitive dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang sering mendiskriminasikan mereka karena menganggap penyandang tuna daksa sebagai sosok yang tidak berdaya dan tidak dapat mengerjakan sesuatu yang berarti. Tekanan yang dialami oleh penyandang tuna daksa cenderung membuat cara berpikir mereka tidak akurat. Hal ini yang membuat mereka menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalahnya. Fakta yang ada di lapangan dari hasil observasi di dapatlah bahwa Warga Binaan Sosial (WBS) di Panti Sosial Budi Bhakti merasa bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi karena mereka menderita kecacatan dan keluarga mereka tidak menginginkan mereka lagi. Untuk membantu meningkatkan resiliensi maka digunakan terapi realitas dengan teknik kelompok agar WBS menjadi individu yang produktif dan tidak merasa rendah diri. Subjek dalam penelitian ini adalah 5 (lima) orang Warga Binaan Sosial Pria di Panti Sosial Bina Daksa Budi Bhakti Cengkareng. Motode pengumpulan data yang digunakan wawancara, observasi, tes psikologi, dan skala resiliensi digunakan untuk pre-test dan post-test. Waktu pelaksanaan kurang lebih selama 1 (satu) bulan. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatlah hasil rata-rata skala resiliensi WBS pada saat pre-test adalah sebesar 60,6, yang berarti ada pada kategori resiliensi rendah. Setelah dilakukan intervensi maka hasil rata-rata post-test skala resiliensi naik menjadi 78 yang berarti berada pada kategori sedang (daya resiliensi meningkat).

Kata kunci : Tuna Daksa, Daya Resiliensi, Terapi Realitas, Teknik Kelompok